Melihat Ekosistem Politik Universitas Islam Malang: Jiplakan Bobrok dan Gobloknya Ekosistem Politik di Indonesia

IMG-20250730-WA0002

Oleh: Muhammad Rizqi Fadilah

 

Miniatur Politik Nasional di Kampus

Penulis memulai dengan membandingkan struktur kelembagaan mahasiswa di kampus dengan sistem pemerintahan di Indonesia. Organisasi mahasiswa seperti Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) dan Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM), baik di tingkat universitas (BEM-U, DPM-U) maupun fakultas (BEM-F, DPM-F), disebut sebagai miniatur dari eksekutif (presiden) dan legislatif (MPR, DPR, DPD, DPRD) di tingkat negara. Organisasi-organisasi ini, yang diinisiasi oleh mahasiswa pada era 50-an, seharusnya berfungsi sebagai alat kontrol sosial, wadah aspirasi, serta sarana transportasi gagasan dan gerakan.

Realitas Politik Mahasiswa di UNISMA

Di UNISMA, BEM dan DPM dipilih setiap tahun melalui Pemilihan Umum Raya (PEMIRA). Namun, data PEMIRA 2025 menunjukkan partisipasi yang sangat rendah, sekitar 10-20% dari total 9000 mahasiswa. Lebih mirisnya lagi, dari seribuan partisipan tersebut, diduga ada permainan suara. Penulis berasumsi bahwa rendahnya minat dan kesadaran mahasiswa terhadap politik kampus disebabkan oleh ketidakbermaknaan organisasi-organisasi tersebut.
Menurut penulis, kegiatan BEM dan DPM di UNISMA “tidak ada artinya”, selain menjalankan kegiatan rutin universitas atau fakultas dan program kerja (proker) yang terkesan hanya untuk kepentingan internal mereka. Mereka dinilai “sibuk bercitra tanpa dampak apapun yang bisa dinikmati atau dirasakan seluruh kalangan mahasiswa.”

Tiga Pengalaman Konyol dengan    BEM-U

Penulis membagikan tiga pengalaman pribadi yang menguatkan argumennya:
1. Ucapan Selamat Paslon di Madura: BEM-U mengunggah ucapan selamat atas terpilihnya salah satu pasangan calon di Madura, alih-alih mengawasi atau mengkritisi kebijakan. Penulis menganggap ini lucu karena Presma dan Wapresma periode tersebut berasal dari Madura, dan ada dugaan kecurangan dalam pemilihan tersebut. Ketika penulis mempertanyakan hal ini di grup WhatsApp angkatan, seorang anggota BEM-U justru menanggapi dengan ucapan tidak etis.
2. Unggahan Aksi Kanjuruhan: BEM-U mengunggah foto kegiatan penggalangan dana untuk tragedi Kanjuruhan tanpa mengetahui detail kegiatan, pihak terlibat, atau tujuannya. Penulis mengkritik di kolom komentar, dan setelah hampir 20 jam tanpa respons, penulis mengunggah kritikan di Instagram Story pribadinya. Ironisnya, Instagram Story tersebut sempat direpost oleh BEM-U tanpa dibaca, hingga akhirnya unggahan asli ditarik tanpa klarifikasi atau permintaan maaf.
3. Absen dalam Audiensi DPRD: Seorang teman penulis dari universitas lain menceritakan bahwa perwakilan UNISMA tidak berbicara sama sekali dalam audiensi dengan DPRD Kota Malang terkait kenaikan pajak UMKM 10%. Sikap ini menunjukkan “betapa kosongnya pihak perwakilan dari UNISMA,” yang dinilai penulis hanya “sibuk bercitra.”

Dominasi PMII dan Politik Satu Partai di Kampus

Penulis menegaskan bahwa tidak hanya BEM-U, tetapi juga DPM-U, BEM-F, dan DPM-F memiliki kinerja yang “hampir nihil.” Mereka lebih sering muncul di media sosial dengan “story rapat” daripada berinteraksi dengan mahasiswa membahas isu-isu penting. Organisasi-organisasi ini disebut sebagai “kepanjangan tangan administrator kampus” yang hanya diisi oleh orang-orang “haus poin, jabatan, dan target membuat menyesal mantan.” Mereka dituding “nihil idealisme, nilai, juga gagasan,” sangat mirip dengan ekosistem politik nasional yang “sibuk bercitra,” “cacat sana-sini kebijakannya,” dan “memperkaya diri sendiri, rakyatnya dilupa.”
Akar masalah dari kekosongan ini, menurut penulis, adalah dominasi partai tunggal di UNISMA, yaitu Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII). Meskipun organisasi mahasiswa eksternal lain seperti GMNI, HMI, dan KAMMI diizinkan di UNISMA, ruang gerak mereka sangat dibatasi. Penulis bahkan menyaksikan kericuhan kecil antara anggota PMII dan HMI saat orientasi mahasiswa baru karena HMI tidak diizinkan masuk lokasi. Dominasi PMII ini disebut telah berlangsung terlalu lama, menciptakan “dinamika politik yang tidak berdasar pada budaya intelektual,” sehingga organisasi mahasiswa yang ada sekarang “hanya bercitra dan membual di media sosial.”
Menyoal Ormek dan Krisis Idealisme
Penulis tidak hanya mengkritik kekuasaan PMII, tetapi juga mempertanyakan apa yang telah dihasilkan oleh mereka selama memimpin. PMII dan organisasi mahasiswa eksternal (ormek) lainnya seharusnya menjadi ruang belajar dan diskusi di luar kelas, namun kini mereka terlihat seperti “sekumpulan orang yang inferior dan apatis,” yang lebih suka “berkumpul di coffeeshop atau club dengan pakaian necis.” Idealisme, menurut penulis, telah lenyap, dan kepemimpinan hanya dilanjutkan dengan kapasitas yang begitu-begitu saja.

Arah Mahasiswa dan Harapan 2045

Penulis menyimpulkan bahwa ekosistem politik di UNISMA mencerminkan kegagalan politik nasional. Ada sistem partai tunggal, tetapi pelaksanaan kekuasaan, kepemimpinan, dan upaya kritisnya “batal.” Idealismenya tidak ada, hanya fokus pada kekuasaan dan citra.
Penulis berharap tulisannya ini dibaca oleh seluruh civitas akademika UNISMA agar terjadi “ngaca” kolektif. Ia mengajak mahasiswa untuk tidak mengulang kesalahan politik di Indonesia, melainkan untuk “melek” dan berjalan bersama menuju Indonesia Emas 2045. Mahasiswa diharapkan kembali pada hakikatnya, bukan menjadi “intelektual kelas kambing yang butuh validasi atas hidupnya di dunia.”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *